Kafir/Syirikkah Sumpah Jabatan ini?

bismillahirrahmanirrahim

Setelah anda bersaksi bahwa “Tidak ada ilah selain Allah”, maka kafir/syirikkah anda mengucapkan sumpah jabatan ini:

“Demi Allah, Saya Bersumpah:

-Bahwa saya untuk diangkat menjadi Presiden/DPR/PNS akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah;*

-Dst…”

Konsekuensi dari ketaatan kepada sumpahnya berarti mencampakkan penerapan sebagian hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya seperti hukum qisas, diyat, rajam, salib, bunuh, cambuk, potong tangan dan lain-lain, padahal Allah berfirman:

…Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah: 85)

…Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak berhukum (memutuskan perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah: 44)

Seharusnya berbunyi:

“Demi Allah, Saya Bersumpah:

-Bahwa saya untuk diangkat menjadi Presiden/DPR/PNS akan setia dan taat sepenuhnya kepada Allah (Quran), Rasul (Sunnah), dan Ulil Amri (Amirul Mukminin);

-Dst…”

Hal ini berdasarkan firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu (apapun), maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian (bukan dikembalikan kepada UUD 1945 dan Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Internasional)… (QS. An-Nisa: 59)

Catatan:

* Dikutip dari naskah Sumpah Pegawai Negeri Sipil RI, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1975 pasal 6. Redaksi sumpah bisa berbeda-beda tergantung pada jabatan apa yang akan diambil sumpahnya, akan tetapi substansi/prinsipnya tetap sama yaitu bersumpah setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan UUD 1945.

.

DOWNLOAD MATERI TAUHID
“Seri Materi Tauhid Lengkap”, content: 188 pages, size: 1,57 MB, file: pdf

.

Kutipan dari “Seri Materi Tauhid Lengkap” halaman 34-36:

“Mari kita perhaikan bahwa dalam praktek demokrasi, yang berhak memutuskan hukum itu rakyat, setiap individiu-individu rakyat memiliki kewenangan mambuat hukum dengan kata lain, bahwa rakyat itu memiliki sifat ketuhanan yaitu pembuatan hukum, akan tetapi kalau rakyat yang berjumlahnya berjuta-juta ini kumpul semuanya adalah tidak mungkin, maka diwakilkan hak ketuhanannya itu lewat pemilu dan ketika “nyoblos” itu pada dasarnya mewakilkan hak ketuhanannya kepada wakilnya yang nantinya akan dipajang di gedung Parlemen. Dan nantinya akan membuat hukum atas nama rakyat. Hal ini bisa dilihat ketika pada saat sidang-sidang thaghut itu di mana mereka mengatasnamakan rakyat, karena mereka adalah perwakilan rakyat… aspirasi rakyat. Jadi, dalam sistem demokrasi ini bahwa yang berwenang atau menentukan hukum dan undang-undang adalah rakyat.

Jika dalam surat Al An’am 121 yang mana satu hukum saja dipalingkan kepada selain Allah dihukumi syirik dan yang membuatnya di sebut wali syaitan (Arbaab), maka apa gerangan dengan sistem demokrasi ini, yang mana bukan hanya satu hukum, akan tetapi seluruh hukum dipalingkan dari Allah kepada makhluk (rakyat)…?? Maka dari itu dalam Undang Undang Dasar dalam Bab 1 (1) ayat 2 dikatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat”. Jika dahulu sebelum diamandemen dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka sekarang adalah dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Jadi, kedaulatan atau hak hukum itu berada di tangan rakyat, atau dengan kata lain bahwa demokrasi itu merampas sifat ketuhanan dari Allah dan diberikan kepada rakyat yang nantinya akan terwujud dalam wakil-wakil rakyat yang ada di gedung Parlemen (MPR/DPR atau yang lainnya).

Jika sekarang kita ingin mengetahui siapa itu Arbaab… para pengaku tuhan di NKRI (Negara Kafir Republik Indonesia) ini, maka tinggal membaca kitab Undang Undang Dasar 1945 dan di dalamnya akan didapatkan: “Bahwa setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU)”, atau akan didapatkan juga pasal: “Bahwa Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang Undang…” dst. Dan juga yang berkaitan dengan otonomi daerah: “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintahan setempat diberikan kewenangan membuat undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah”. Dan itu semua adalah Arbaab-Arbaab yang ada di Indonesia… Sekali lagi, jika ingin mengetahui siapa Arbaab atau para pengaku tuhan, maka pahamilah tauhid lalu baca Undang Undang Dasar 1945, maka akan diketahui bahwa mereka adalah para pengaku tuhan.

Jadi demokrasi ini adalah sistem syirik sedangkan hukum yang muncul dari bingkai demokrasi dalam bentuk apapun itu adalah syari’at demokrasi… syari’at syirik walaupun ~umpamanya~ hukum potong tangan muncul dalam bingkai demokrasi, maka hakikatnya adalah bukan hukum Allah akan tetapi tetap hukum demokrasi, karena munculnya bukan dari Allah, tapi dari sang pembuat hukum yang diakui dalam sistem demokrasi, yaitu rakyat (wakil rakyat) sehingga bukan ayat Al Qur’an lagi yang tertera, akan tetapi: Tap MPR no sekian… atau Perpu no sekian… seperti itulah yang ada.

Dan ketika membuatnya, mereka (partai-partai Islam) mengambil dari Al Qur’an tentang potong tangan, dengan kata lain proposal diambil dari Al Qur’an (dari Allah) kemudian disodorkan kepada tuhan-tuhan “besar” yang ada di gedung MPR/DPR… disodorkan kepada Arbaab-Arbaab itu, setelah itu akan terjadi tarik ulur… Jadi, hukum Allah disodorkan kepada mereka ~karena yang namanya proposal itu muncul berawal dari bawah lalu disodorkan ke atas~ dan ketika berada di atas (MPR/DPR), mereka setujui atau tidak. Jika tidak setuju maka jelaslah kekafirannya, dan ketika setuju juga jelas kekafirannya, karena hal itu menunjukan bahwa Allah itu tidak diakui sebagai Rabb pengatur, akan tetapi merekalah yang berhak mengatur sehingga hukum Allah membutuhkan persetujuan Arbaab…! Dan ketika digulirkan tidak mungkin nantinya sesuai dengan firman Allah surat sekian atau ayat sekian… akan tetapi jika yang mengeluarkannya Pemerintah, maka yang keluar adalah Perpu no sekian, Perda no sekian, jika MPR yang menggulirkannya maka yang keluar adalah TAP MPR no sekian, begitulah keadaannya…!!

Jadi semua itu adalah hukum Arbaab. Arbaabnya banyak… ada Arbaab dari partai PKS, PBB, PPP, PKB, PAN, PDIP, Golkar…dst, mereka itu adalah Arbaab.”

Sebarkan informasi ini sebagai amal ibadah dakwah anda. Wallahu a’lam.

Leave a comment